BANDA ACEH, KOMPAS. Sebanyak 10 Kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, dianggap bermasalah dalam anggaran dan potensi terjerat perkara pidana. Dugaan penyimpangan tersebut umumnya berupa kas bon atau utang proyek pada pihak ketiga, kelebihan pembayaran pajak, utang kepada pihak ketiga untuk menutup utang lama sebelum pertanggung jawaban anggaran, dan menggunakan dana sisa lebih anggaran untuk deposito. Ketua LSM Gerak Aceh Askhalani, jumat (25/3), mengungkapkan 10 daerah berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bangkrut dan bermasalah itu adalah Aceh Utara , Aceh Timur , Aceh Barat Daya, Pidie, Bireuen Aceh Tenggara Simeulue, Nangan Raya, Aceh Barat dan Aceh Besar Menurut Askhalani penyimpangan dalam tata kelola anggaran itulah yang membuat 10 kabupaten tersebut kini bangkrut karena terjebak hutang. Berdasarkan hasil audit BPK 2009-2010 daerah itu bangkrut. Mereka terancam tak mampu lagi membayar pembangunan untuk rakyat karena lebih dari 75 persen dana APBD tersedot untuk belanja pegawai dan operasional pemerintahan yang boros. Mereka disibukkan dengan utang kepada pihak ketiga dari tahun ke tahun,’’ ujar Askhalani. Anggota Panitia Anggaran DPR Aceh Abdullah Saleh,mengatakan, masalah kebangkrutan anggaran berawal sejak lama, bahkan sejak pada masa konflik. Pada masa konflik banyak, Kepala Daerah di Aceh yang berperilaku aji mumpung dan tak menggunakan dana anggaran dengan semestinya. Kebiasaan kas bon kepada pihak ketiga untuk membangun proyek pun sudah terjadi sejak dulu. “misalnya di Bireuen Bupati yang lama, Mustafa Gelanggang, yang sekarang sudah dipidana, meminjam uang kepada pihak ketiga untuk membangun sejumlah bangunan yang tak sesuai kebutuhan, termasuk rumah dinas. Utang-utang ini yang kini terus ditanggung Bupati berikutnya , “ tutur Saleh.
Jika kondisi ini terus berlangsung, kata Saleh, dalam jangka 10-15 tahun lagi Aceh di prediksi bakal kolaps. Saat ini aceh masih dimanjakan oleh pusat dengan dana otonomi khusus (otsus) yang tak di terima daerah lain yang besarnya Rp30 miliar hinga Rp80 miliar untuk setiap Kabupaten/Kota. Total otsus untuk Aceh sebesar 2 persen dari total nilai dana alokasi umum nasional. Dana ini di berikan selama 25 tahun dan 1 persen untuk lima tahun berikutnya. ‘’Dengan otsus pun banyak banyak yang bangkrut. Bagaimana nanti jika tidak ada otsus?’’ Bupati Bantaeng Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, menambahkan, fenomena kebangkrutan anggaran NAD adalah ibarat puncak gunung es Diduga banyak daerah lain di indonesia mengalami masalah serupa. ‘’Pencitraan semu didasarkan capaian angka statistik serta permintaan usulan proyek yang tidak realistis dari kelompok pendukung Bupati/Walikota amat jamak di negeri ini,’’ kata Nurdin, Guru Besar Pertanian Universitas Hasanuddin yang menjadi Bupati Bantaeng 2008.
Kementerian Dalam negeri (Kemdagri) menyatakan belum mengetahui adanya daerah yang bangkrut dan berutang kepada pihak ketiga untuk menutupi defisit anggaran guna membiayai sejumlah kegiatan rutin, seperti yang terjadi di wilayah kabupaten dan kota di NAD. Sekjen Kemdagri Diah Anggraeni di Kota Padang, Jumat, mengatakan, tak mungkin membayar gaji pegawai denngan meminjam uang kepada pihak ketiga.’’Kan punya APBD,’’ katanya ia berulang kali menegaskan bahwa dirinya belum mendapat laporan soal daerah yang bangkrut. Namun, ia mengatakan, jika memang kebangkrutan anggaran itu terjadi di wilayah kabupaten dan di kota NAD, yang harus di mintai pertanggung jawaban ialah Gubernur bersangkutan. Itu terkait dengan Undang-Undang No.19 tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta kedudukan keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Kompas (26/3)