Ternate – Sikap pemerintah Provinsi (pemprov) yang mengaku tidak mengetahui data produksi emas PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) dan ketidakjelasan royalti, menimbulkan tanda tanya besar. Sebagian kalangan bahkan tidak percaya dan menganggap dinas terkait sengaja menutup-nutupi hal tersebut. Aktivis Forum Study Halmahera ( Foshal) Azis Hasyim menyatakan, aneh bin ajaib pemprov tidak mengetahui produksi NHM. ” Lebih aneh lagi Kepala Dispenda (Madjid Husen) mengatakan bahwa royalti baru diberlakukan tahun 2011 ini,” kata Azis kepada Malut post kemarin (10/5).
Dia mengatakan, dari keterangan Dispenda dan Dinas Pertambangan dan ESDM Malut yang diliris koran ini kemarin, dirinya menduga pemprov sengaja menyembunyikan persoalan ini.
“Artinya, saya menduga pemerintah provinsi memang tidak mengetahui volume produksi yang dilakukan PT NHM. Disini kita butuh kejujuran dari pihak perusahaan untuk menggungkapkan volume produksi perbulan dan pertahun,” kata Azis. Dia bahkan menganggap pemprov lalai kerena tidak mengetahui juga royalti emas.” masa royalti NHM baru berlakukan 2011. Selama ini kemana?,” kata Azis mempertanyakan.
Selain Azis, ada juga komentar dari Ketua Program Study Pertambangan inivirsitas Muhammadiyah Maluku utara (UMMU) Muhammad Djunaidi, S.T., M.T. dan Lukan Umar dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Malut yang ditemui Malut Post secara terpisah kemarin.
Muhammad mempertanyakan Kepala Distamben Malut Arman Sangadji mengaku tidak mengetahui produksi riil NHM. Menurutnya, setiap 3 bulan sekali perusahaan wajib melaporkan hasil pertambangan baik dari segi produksi maupun lingkungan dan lain-lain. “ Apakah laporan yang diberikan NHM hingga saat ini memang ada atau dimanipulasi,” katanya. Sementara Ketua Bidang Pengkajian PERHAPI Malut Lukman Umar mengatakan, data-data mengenai produksi NHM sebenarnya sudah ada di Distamben. Karena beberapa besar, royalti emas dari NHM pun bisa di ketahui.” Pemprov pasti punya data produksi karena pemprov berhak memiliki data itu, kemudian dapat menyesuaikan dengan pembayaran royalti yang 16 persen buat provinsi.” kata Lukman melalui ponselnya.
Meski begitu, Umar tidak mau menyalahkan Distamben maupun Dispenda yang mengaku tidak mengetahui data produksi. “ Mungkin pada momen ini, pemprov belum mempublikasikan. Tapi suatu saat bisa dipublikasikan karena publik juga berhak untuk mengontrolnya,” katanya.
Dia meluruskan pertanyaan Kadispenda Madjid Husen yang menyebutkan kewajiban NHM menyetor ke pemprov sebesar Rp 58 Miliar sebagaimana isi memorandum of understanding (MoU) tahun ini, sebagai royalti. Menurutnya, kewajiban NHM menyetor royalti dilakukan sejak NHM mulai produksi, yakhi tahun 1999 hingga saat ini.” Saya tidak membantah Kadispenda tapi menurut Perhapi yang dimaksud ada tambahan dari PT NHM sebanyak Rp 58 Miliar itu adalah niat baik PT NHM untuk membantu Malut dalam rangka mempercepat pembangunan yang diatur lewat MoU, bukan royalti,” kata dia. Perhapi sendiri memandang, kontribusi NHM selama ini cukup besar. Meski tidak menyebut angka royalti yang diterima Pemprov dan Pemkab Halut sebagai daerah penghasil, Lukman mengatakan, selain royalti, dana bantuan, setiap tahun NHM membayar pajak ke pemerintah Rp 1 triliun lebih.” Sementara produksi NHM, tidak dilakukan secara besar-besaran. Hal ini karena candangannya tidak terlalu besar sehingga kegiatan penambangan itu diatur sedemikian rupa sehingga tidak memproduksi secara besar-besaran untuk menjaga umur tambang lebih panjang,” paparnya.
Berbeda dengan Muhammad yang menganggap kontribusi NHM belum signifikan. Jika dilihat dari aspek produksi, kata Muhammad, belum sebanding dengan kontribusi NHM ke daerah. “ Kalau produksinya lewat infrastruktur pemerintah, mungkin saja ya..Namun jika kita lihat pada kesejahteraan masyarakat lingkar tambang, saya rasa kontribusi belum maksimal.” Jangan sekali-kali perusahaan membuat masyarakat menggantung pada mereka. Karena pengalamannya seperti Gebe paksa tambang,’ katanya.
Sementara Azis mengatakan, pihak perusahan harus memiliki kewajiban moral untuk menyampaikan seberapa besar produksi pertahun dan perbulan agar masyarakat semua tahu. Dia menyarankan agar perhitungan royalti tidak hanya berdasarkan volume produksi. melainkan juga perhitungan nilai ekonomi dari berbagai ekosistem alam yang menghilang akibat aktivitas perusahaan.’ Saya juga mempertanyakan Gubernur yang baru menyuarakan persoalan NHM.. Apakah ini hanya kepentingan Sail Indonesia 2012 di Morotai,” tambahnya. Dia menilai kontribusi NHM untuk daerah belum signifikasi atau sebanding dengan dampak yang ditimbulkan di daerah, terutama bagi masyarakat lingkar tambang. Anggota DPRD Provinsi (Deprov) Malut dari Komisi II juga menampik keterangan Kadispenda soal royalti.” Mungkin saja yang dimaksudkan Kadispenda bahwa Halut Rp 70 Miliar dan Pemprov Malut Rp 58 Miliar itu adalah dana CSR,” kata anggota Komisi II Farida Djama di Kantor Deprov kemarin.” Kalau royalti itu cara pembagiannya sudah jelas dalam perundang-undangan. Di mana pendistribusiannya, pihak NHM menyetor ke pemerintah pusat (Pempus) kemudian dikembalikan di daerah kalau dalam nomenklatur APBD disebut dana bagi hasil (DBH) bukan pajak,” ujarnya.”jadi mungkin hanya saya salah persepsi saja,”imbuhnya. Politisi partai Golkar ini mengaku selama ini Pemprov hanya mendapat informasi sepihak dari NHM dan Dinas Pertambangan sendiri selaku pembina dan pengawas belum melakukan perhitungan secara pasti.
Dia mengatakan, sebenarnya Distamben lebih tahu karena setiap bulan Distamben tetap mendapat salinan dana transfer royalti. ”Kalau Distamben mengaku tidak tahu, maka saya juga tidak tahu mekanisme kerja seperti apa yang ada di Distamben itu,”ujarnya.
Anggota Komisi II lainnya Ishak Naser mengatakan pembagian royalti dalam perundang-undangang itu sangat jelas. Menurut politisi PDIP Malut bahwa pembagian royaltinya untuk Pempus 20 persen, Provinsi Malut 16 persen, sisanya 64 persen kemudian dibagi lagi dengan kabupaten/ kota di wilayah Malut. untuk kabupaten penghasil (Halut) mendapat 32 persen sisanya 32 persen disubsidi silang ke kabupaten sekitarnya dalam satu wilayah provinsi secara merata.”jadi royalti atau Potensi Sumber Daya Alam (PSDA) dari NHM itu tidak langsung ke Pemda tetapi melalui Pempus baru dibagi ke daerah. Yang paling terpenting adalah dilakukan pengawasan terhadap tingkat produksi karena besar kecil royalti yang diterima di provinsi sebesar 16 persen itu sangat tergantung berapa produk yang dihasilkan,’katanya.
Dikatakan Ishak, pengawasan terhadap produksi ini penting karena bila di angka produksinya dimanipulasi menjadi lebih rendah, maka daerah merugi.
“Akhirnya angka royalti ini tergantung pada tingkat produksi, kalau produksi itu dia naik otomatis royalti juga naik Jadi Rp 58 Miliar yang diterima oleh Pemprov ini bakan royalti tapi namanya pendapatan hibah yang bersifat tidak mengikat. Dulu namanya sumbangan pihak ketiga tapi sekarang tidak ada namanya istilah sumbangan pihak ketiga lagi ketika adanya Permendagri nomor 13 pasal 28 ayat 1 huruf a tentang pendapatan hibah,”jelasnya.
Malut Post (11/05)